Bagaimana rasanya kalau harus hidup sendirian di daerah yang jauh dari peradaban hingga bertahun-tahun lamanya? Pastinya menjalani kehidupan macam itu bakal terasa sangat berat, bahkan bagi mereka yang hobi berpetualang sekalipun. Namun tidak demikian halnya dengan laki-laki renta renta yang satu ini. Selama puluhan tahun terakhir, hidup di pulau terpencil yang jauh dari hiruk pikuk masyarakat sudah menjadi kesehariannya.
Masafumi Nagasaki yaitu nama dari laki-laki tersebut. Sejak tahun 1989, laki-laki yang kini sudah berusia 82 tahun tersebut hidup sendirian di Pulau Sotobanari, sebuah pulau kecil berbentuk ginjal yang terletak jauh di sebelah selatan Jepang dan termasuk dalam gugus Kepulauan Okinawa.
Jika Jepang identik dengan segala hal yang bersifat modern dan ramai, maka Sotobanari yaitu kebalikan dari semua hal tersebut. Pulau tersebut tidak berpenghuni dan bahkan tidak mempunyai sumber air tawarnya sendiri. Namun hal tersebut tidak menghalangi Masafumi untuk menetap di pulau tersebut hingga puluhan tahun lamanya.
Tinggal sendirian di pulau terpencil lantas turut mengubah gaya hidup Masafumi. Berjalan-jalan tanpa mengenakan sehelai pakaian pun menjadi kebiasaan yang tidak aib ia lakoni setiap harinya. Terpaan sinar matahari juga berangsur-angsur mengubah warna kulitnya menjadi lebih gelap.
“Saya tidak melaksanakan apa yang dikatakan masyarakat kepada saya, namun saya mengikuti peraturan yang sudah dibentuk oleh alam. Anda tidak sanggup mengalahkan alam, jadi anda harus mematuhi alam itu sendiri,” kata Masafumi yang menyandang julukan ‘si petapa telanjang’. “Itulah yang saya pelajari ketika saya tiba di sini, dan mungkin itulah sebabnya saya merasa kerasan tinggal di sini.”
Dengan melihat gaya hidup Masafumi, cukup mencengangkan untuk mengetahui kalau sebelum tinggal di pulau ini, ia juga sempat menjalani gaya hidup normal layaknya warga negara Jepang kebanyakan. Masafumi diketahui sempat bekerja sebagai fotografer dan pekerja industri dunia hiburan.
Menurut pengukuhan penjelajah Alvaro Cerezo yang sempat tinggal selama 5 hari bersama Masafumi di tahun 2014, Masafumi juga diketahui sempat menikah sebelum kemudian meninggalkan gemerlap kehidupan Jepang untuk merantau di Sotobanari.
Faktor kejenuhan akan gaya hidup Jepang yang penuh dengan tekanan diperkirakan menjadi penyebab mengapa Masafumi menentukan untuk pergi ke pulau terpencil alih-alih menghabiskan masa tuanya di daerah yang wajar.
Menyebut Sotobanari sebagai pulau terpencil tidaklah berlebihan mengingat pulau ini jarang disinggahi oleh nelayan lokal dan berjarak lebih bersahabat ke Taiwan ketimbang kepulauan inti Jepang. Karena lokasinya yang relatif terpencil pulalah, pulau ini mendapatkan nama Sotobanari yang dalam dialek lokal mempunyai makna “Pulau Luar yang Jauh”.
“Di peradaban, orang-orang memperlakukan saya menyerupai orang terbelakang dan saya sendiri merasa sebagai salah seorang di antaranya. Namun di pulau ini, saya tidak mencicipi hal tersebut,” saya Masafumi.
Kendati Masafumi pindah ke Sotobanari atas inisiatifnya sendiri, awalnya ia hanya mempunyai niat untuk tinggal di pulau tersebut selama dua tahun. Namun hal yang tidak diduga-duga kemudian datang. Badai angin kencang menyapu Sotobanari dan memporak porandakan daerah berteduh yang sudah ia bangun.
“Saya selanjutnya berada di bawah terpaan sinar matahari langsung,” ujar Masafumi. “Pada titik ini, saya sempat berpikir kalau tinggal di daerah ini sudah mustahil lagi.” Namun takdir berkehendak lain lantaran kenyataannya, Masafumi tetap tinggal di pulau tersebut hingga hampir tiga dekade lamanya.
Di tahun-tahun awalnya ketika menjalani kehidupan sebagai penghuni Sotobanari, ia bakal mengenakan pakaiannya setiap kali ada kapal yang melintas. Namun seiring berjalannya waktu, ia meninggalkan kebiasaan tersebut dan tidak lagi merasa aib ketika harus menjalani kesehariannya dalam kondisi tanpa busana.
“Berjalan-jalan tanpa mengenakan pakaian bukanlah hal yang masuk akal dalam masyarakat normal. Namun di pulau ini, hal tersebut terasa masuk akal dan bahkan terasa menyerupai seragam,” paparnya. “Jika anda mengenakain pakaian, anda justru menyerupai merasa sedang berada di daerah yang salah.”
Namun Masafumi sendiri tidak benar-benar memutus kontaknya dari dunia luar sama sekali. Selama seminggu sekali, ia bakal mengenakan pakaiannya dan pergi ke pemukiman terdekat yang jaraknya kurang lebih satu jam perjalanan menggunakan kapal. Di sana, ia bakal membeli air dan kuliner untuk dipakai sebagai perbekalannya di pulau. Masafumi secara teratur juga mendapatkan kiriman uang 10.000 yen (1,2 juta rupiah) dari saudari perempuannya.
Makanan favoritnya selama tinggal di Sotobanari yaitu camilan anggun nasi yang ia masak sendiri dengan cara merebusnya di dalam air mendidih. Kadang-kadang dalam sehari ia sanggup makan sebanyak empat hingga lima kali. Untuk mandi dan bercukur, ia menggunakan air hujan yang ditampung dalam baskom serta periuk bekas.
Kendati hidup di pulau terpencil nampaknya mengambarkan kalau ia sanggup melaksanakan semuanya secara bebas dan tanpa aturan, Masafumi ternyata mempunyai acara harian yang amat ketat. Saat matahari terbenam, ia bakal mengurung diri di dalam tendanya biar terhindar dari gigitan serangga. Saat pagi tiba, ia bakal pergi ke pantai untuk melaksanakan acara fisik.
Aktivitas berikutnya yang bakal dilakukan oleh Masafumi sepanjang hari yaitu mencari kuliner dan meratakan pantai biar terlihat rapi. Hebatnya, kendati tinggal di pulau yang notabene tidak menyediakan banyak makanan, Masafumi menahan diri untuk tidak mengkonsumsi binatang sama sekali. Ketika ada penyu bahari yang singgah dan bertelur di pantai Sotobanari, Masafumi menentukan untuk tidak mengusiknya dan menyaksikan bagaimana mereka menetas.
Jam tangan yang dipasang oleh Masafumi di ranting pohon menjadi patokan utamanya dalam mengetahui waktu dan mengatur acara acara hariannya. Begitu patuhnya Masafumi akan acara hariannya sampai-sampai ketika Alvaro terlambat dua menit saja, Masafumi eksklusif menegur dan memarahinya.
Masafumi sendiri mengakui kalau kehidupan yang ia jalani bukanlah kehidupan paling sehat yang sanggup ia tempuh. Namun berdasarkan Masafumi, hal tersebut tidaklah penting lantaran bukan itu tujuan awalnya ketika pindah ke Sotobanari. “Memilih daerah untuk wafat yaitu hal yang penting untuk dilakukan, dan saya sudah memutuskan kalau daerah ini yaitu daerah yang cocok untuk saya,” ujarnya.
Namun layaknya peribahasa ‘manusia berusaha, Tuhan yang menentukan’, harapan Masafumi untuk tinggal di Sotobanari hingga simpulan hayatnya nampaknya tidak bakal ia jalani. Pasalnya pada bulan Juni 2018 lalu, ia dijemput paksa oleh polisi dan dibawa ke rumah sakit terdekat sehabis beredarnya laporan kalau Masafumi tengah berada dalam kondisi yang lemah dan sakit-sakitan.
Menurut Alvaro, Masafumi kini tinggal di akomodasi milik pemda setempat dan tidak diizinkan lagi untuk kembali ke Sotobanari. Kendati keputusan tersebut sanggup dipahami, Masafumi tak ayal bakal merasa kecewa mengingat ia sudah usang memendam hasrat biar sanggup menghabiskan sisa hidupnya di Sotobanari.
“Semua yang saya inginkan ada di sini (Sotobanari). Saya tidak membutuhkan apa-apa lagi,” kata Masafumi sebelum dijemput paksa oleh pihak berwajib. “Saya sudah bilang kepada keluarga saya kalau saya bakal meninggal di sini (Sotobanari). Saya ingin tewas terbunuh oleh angin angin kencang biar tidak ada yang mencoba menyelamatkan saya.”
Sumber http://www.anehtapinyata.net
0 comments:
Post a Comment